Tugas Individu
Emansipasi Wanita Menurut Qosim Amin
Memenuhi Tugas
Mata Kuliah
Tafsir Tarbawi
Dosen : Hasan
Mukmin.
Di Susun oleh
:
Hernita Wati
Npm
: 1422010121
Kelas
: E
Semester
: II ( Dua )
Jurusan
: Pendidikan agama Islam ( PAI
)
PROGRAM STUDY
: ILMU TARBIYAH

PROGRAM PASCA SARJANA (PPS)
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
RADEN INTAN LAMPUNG
2015
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
………………………………………………………...2
1.2.
Rumusan Masalah
……………………………………………………..3
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Emansipasi Wanita ………………………………………...4
2.2 Pendidikan…………………….. ………………………………………4
2.3 Hijab …………...................................………………………………....6
2.4 Perkawinan
……………………………. ……………………………...7
BAB
III PENUTUP
3 3.1 Kesimpulan ……………………………………………………………12
DAFTAR
PUSTAKA
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern memasuki dunia Islam,
terutama pada awal abad ke19, yang di dalam sejarah Islam dipandang sebagai
permulaan periode modern. Salah satu gerakan pembaharuan yang mendapat
perhatian besar waktu itu ialah emansipasi wanita. Timbulnya pemikiran ke arah
itu disebabkan persepsi masyarakat Mesir terhadap wanita waktu itu sudah
demikian merosot. Mereka menganggap wanita itu adalah alat untuk memuaskan
nafsu lelaki semata dan wanita harus tinggal di rumah. Akibat dari persepsi
demikian, mereka tidak diberi kesempatan memasuki lembaga pendidikan serta
tidak berhak ikut campur dalam berbagai kegiatan selain dari mengurus rumah
tangga semata.
Dalam hal ini Qasim Amin mengadakan perubahan dengan memberikan hak
wanita itu yang relatif sama dengan pria. Qasim Amin melihat hal-hal yang
mendorong cepatnya proses pembangunan di Barat terletak pada keikutsertaan kaum
wanita. Di Barat, wanita memperoleh pendidikan yang layak sebagaimana kaum
pria, sedangkan wanita Mesir yang jumlahnya setengah dari warga negara tidak
mendapat pendidikan dan tidak boleh ikut serta bersama kaum pria dalam berbagai
kegiatan kemasyarakatan. Hal inilah yang mendorongnya untuk mencanangkan
ide-ide emansipasi wanita .Adapun hal-hal yang menjadi fokus perhatiannya dalam
hal ini adalah : Pendidikan, Hijab, dan Perkawinan.
1.2
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka yang menjadi pokok
permasalahan dalam penulisan makalah ini adalah:
1.
Apa Pengertian Emansipasi Wanita ?
2.
Bagaimana Pendidikan Bagi Wanita
3.
Bagaimana Hijab Bagi Wanita ?
4.
Bagaimana Perkawinan bagi Wanita ?
BAB
II
PEMBAHASAN
4.1
Emansipasi Wanita
Emansipasi wanita merupakan suatu
gerakan sosial dalam masyarakat untuk meningkatkan kualitas diri perempuan
menuju kehidupan yang lebih layak dan menjadi bagian integral dalam kehidupan
masyarakat. Qasim Amin merupakan salah seorang tokoh Muslim yang memiliki
perhatian besar terhadap masalah perempuan, dalam hal ini emansipasi. Qasim
Amin berupaya menyelaraskan ajaran Islam di tengah-tengah masyarakat, bahwa
Islam selama ini sering dipahami secara keliru oleh pemeluknya terutama masalah
perempuan.
2.2 Pendidikan
Timbulnya pemikiran mengenai pentingnya pendidikan bagi
wanita merupakan reaksi terhadap pandangan masyarakat. Bahkan mereka
mempersoalkan apakah pelajaran menulis dan membaca sesuatu yang dibolehkan
syara’ ataukah sesuatu yang dilarang.[1]
Menurut mereka fungsi wanita hanyalah sebagai ibu rumah tangga, maka dari itu
cukup hanya diberi pendidikan menjahit dan memasak.
Menurut Qosim Amin pendidikan bagi wanita merupakan sesuatu
yang sangat penting dalam rangka memajukan suatu bangsa, baik ditinjau dari
segi statusnya sebagai anggiota masyarakat, ataupun sebagai ibu rumah tangga.
Wanita menurut Qosim Amin tidak mungkin mengurus rumah
tangga dengan baik, kecuali dengan bekal ilmu pengetahuan, setidaknya harus
mengeathui pengetahuan dasar yang sama yang diberikan kepada pria. Dengan
adanya bekal pengetahuan dasar ini maka seorang wanita dapat memilih sesuatu
yang sesuai dengan perasaanya dan dapat berbuat dengan penuh keyakinan.[2]
Dengan pengetahuan tulis baca ia dapat memahami berbagai ilmu seperti ilmu
bumi, sejarah bangsa-bagsa, fisika, astronomi, dan lain-lain, sehingga dirinya
penuh dengan pengetahuan, dengan demikian dia juga dapat pula memahami masalah
aqidah dan etika agama. Intelektualnya akan siap menerima pendapat-pendapat
yang benar dengan penuh kesadaran dan menghindarkan diri dari khufarat dan
kebatilan yang mematikan akal sehat kewanitaanya.[3]
Dengan pendidikan mental maupun
intelektual diharapkan pula akan dapat membentuk wanita yang berakhlak baik.
Sebab wanita yang berakhlak baik akan lebih berguna dikalangannya, daripada
laki-laki yang tidak berakhlak tidak baik.[4]
Disamping pendidikan intelektual
pendidikan jasmani juga diperlukan. Wanita harus melakukan olahraga secara
kontinu semenjak awal perkembangannya, agar kesehatan mereka terjamin. Dengan
demikian mereka diharapkan : akan dapat hidup dengan penuh semangat dan
melahirkan keturunan yang sehat.[5]
Pentingnya pendidikan wanita sebagai
anggota masyarakat karena keluarga unit terkecil dari satu Negara. Sedangkan
inti dari sebuah keluarga diliha dari segi pembinaan keluarga berada ditangan
wanita. Oleh sebab itu Qosim Amin menyadari benar, bodohnya wanita akan menimbulkan
akibat yang fatal terhadap perkembangan dan kemajuan masyarakat dan Negara.
Terutama fungsinya sebagai pendidik pertama bagi anak-anaknya.[6] Qosim
Amin mencoba membandingkan kehidupan wanita Mesir dengan kehidupan wanita
Barat, perbedaanya sangat jauh sekali. Wanita Barat telah maju karena mereka
telah berhasil memainkan perenan dalam berbagai lapangan kehidupan. Inilah yang
menyebabkan dunia Barat maju dan berkembang, sementara Mesir pada waktu itu
masih statis dan terbelakang. Selanjutnya Qosim Amin mengemukakan bahwa wanita
yang terdidik akan mampu berfikir secara kreatif. Dengan demikian mereka dapat
membebaskan dirinya dari ketergantungan terhadap orang lain dalam bidang
ekonomi,, disamping itu ia juga dapat menambah
penghasilan keluarga, sehingga tarap ekonomi keluarga dapat
ditingkatkan. Bila semua keluarga telah baik kondisi ekonominya, maka dengan
sendirinya ekonomi Negara akan baik pula.[7] Pendidikan
ini juga dipentingkan oleh wanita dalam rangka menjalankan tugasnya dalam
keluarga, baik fungsinya sebagai istri ataupun seorang ibu.
Peranan wanita sebagai istri, ia
diharapkan mampu menciptakan rumah tangga yang bahagia, karena setiap orang
ynag berumah tangga sudah pasti menambahkan kebahagian. Kebahagian rumah tangga
bukan terletak hanya pada kecukupan materi saja, apakah itu harta, kecantikan,
anak dan lain sebagainya, tetapi yang lebih utama ialah saling pengertian yang
diistilahkan oleh Qosim Amin sebagai, saling pengertian ini hanya dapat
dihidupkan oleh istri yang berpendidikan, karena dengan pengetahuan yang
dimilikinya, ia bisa mengetahui tugas-tugasnya sebagai istri.[8]
Adapun fungsi wanita sebagai seorang
ibu, berarti dia sebagai guru pertama bagi anaknya. Karena anak lebih banyak
bergaul dengan ibunya daripada dengan bapaknya. Dengan demikian karkter si anak akan dapat tergatung kepada
pendidikan yang diberikan ibunya.
2.3 Hijab
Menurut Qosim Amin, hijab yang
dikenal dikalangan masyarakat kita yaitu yang mengharuskan wanita menutup
seluruh tubuhnyan, termasuk muka dan telapak tangan, bukan datang dari Syari’at
Islam, tetapi dari adat istiadat di luar Islam yang telah lam berkembang.[9]
Sedangkan Islam tidak mengharuskan bagi wanita menutup muka dan elapak
tangannya.
Menurut penuturan Qosim Ami ada yang
beranggapan bahwa, saya menolak hijab dan menganjurkan kaum wanita berpakaina
seperti kaum wanita Eropa. Sebenarnya bukan demikian, saya tetpa mempertahankan
hijab dan mamndangnya sebagai salah satu prinsip dasar adab yang mesti dapat
dipegang, akan tetapi saya menuntut hijab yang sesuai dengan syari’at Islam.
Disamping pengertian hijab tersebut diatas menurut Qosim Amin, hijab juga
mencangkup larangan terhadap wanita untuk mendatangi tempat yang indah-indah.
Karena wanita itu hidup terkurung dalam rumahnya, tidak dapat melihat ala mini,
kecuali melalui jendela atau dalam keranda kereta.[10]
Hijab seperti ini menghambat gerak wanita
untuk melaksankan aktifitasnya. Bagaiman seorang yang muka dan tangannya
tertutup dapat berdagang, bertani dan menjadi saksi pengadilan. Bagiman pula
bagi seorang pembantu rumah tangga melakukan pekerjaan dengan muka dan kedua
tanganya tertutup.[11]
2.4 Perkawinan
Menurut pengamatanya, dalam masyarakat terdapat pandangan yang
merendahkan kedudukan wanita dalam perkawinan wanita hanya sebagai objek.
Pandangan negatif ini tidak hanya terdapat dikalangan awam tetapi juga
dikalangan fuqaha. Hal ini terbukti dalam ungkapan mereka dalam mendefinisikan
perkawinan. Perkawinan mereka adalah : bahwasnya tidak ditemukan dalam definisi
ini satu katapun yang menggambarkan hubungan suami istri selain hubungan
biologis.[12]
Definisi ini menurut Qosim Amin mencerminkan kekeliruan masyarakat, karena
pandangan tersebut tidak sesuai dengan apa yang disebutkan dalam firman Allah
dalam surat Ar-rum ayat 21 yang isinya adalah.
ô`ÏBur ÿ¾ÏmÏG»tƒ#uä ÷br& t,n=y{ /ä3s9 ô`ÏiB öNä3Å¡àÿRr& %[`ºurø—r& (#þqãZä3ó¡tFÏj9 $ygøŠs9Î) Ÿ@yèy_ur Nà6uZ÷t/ Zo¨Šuq¨B ºpyJômu‘ur 4 ¨bÎ) ’Îû y7Ï9ºsŒ ;M»tƒUy 5Qöqs)Ïj9 tbrã©3xÿtGtƒ ÇËÊÈ
Artinya : “Dan di antara tanda-tanda
kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri,
supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya
diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”.[13]
Ayat diatas menerangkan bahwa makna dari
perkawinan yaitu : ikatan suami istri yang didasari oleh kasih saying. Dua hal
ini menurut Qosim Amin tidak datang begitu saja, akan tetapi melaluit proses
saling mengenal ini dibolehkan oleh syari’at berdasarkan Hadis Nabi ketika
beliau menyuruh seorang anshar untuk melihat terlebih dahulu wanita yang akan
dipinangnya itu. kenapa nasehat itu tidak kita indahkan.[14]
Selanjutnya Qosim Amin menjelaskan bahwa
poligami adat istiadat kuno yang telah ditransfer oleh Islam dipenjuru bumi
ini. Dalam poligami terdapat aspek penghinaan terhadap kaum wanita, karena
tidak seorangpun dari mereka yang rela dimadu, sebagaimana yang tidak akan
ditemukan seorang pria yang rela istrinya dicintai dan digauli oleh pria lain.
Bagaimanapun juga keadaan seorang wanita tidak akan rela suaminya membagi kasi
dengan wanita lain, kalau hal ini terjadi maka ia akan merasa disakiti. Lebih
lanjut Qosim Amin menjelaskan bahwa Agama Islam pada hakikatnya menganjurkan
monogami. Poligami dalah sebagai alternative dalam keadaan terpaksa.[15]
Menurut Qosim Amin hukum syara’ yang
membolehkan begitu saja berpoligami, sebagaimana yang tertea dalam surat
An-Nisa ayat 3.
÷bÎ)ur
÷LäêøÿÅz žwr&
(#qäÜÅ¡ø)è? ’Îû 4‘uK»tGu‹ø9$#
(#qßsÅ3R$$sù
$tB
z>$sÛ Nä3s9 z`ÏiB
Ïä!$|¡ÏiY9$#
4Óo_÷WtB y]»n=èOur yì»t/â‘ur (
÷bÎ*sù
óOçFøÿÅz žwr&
(#qä9ω÷ès? ¸oy‰Ïnºuqsù ÷rr& $tB ôMs3n=tB öNä3ãY»yJ÷ƒr& 4
y7Ï9ºsŒ #’oT÷Šr&
žwr& (#qä9qãès? ÇÌÈ
Artinya : “dan jika kamu takut tidak akan dapat
Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu
mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua,
tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil. Maka
(kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu
adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”[16]
Selnjutnya Qosim Amin menjelaskan bahwa
perceraian itu sama halnya dengan poligami yang hanya diperbolehkan kalau dalam
keadaan terpaksa.[17]
Dengan demikian wanita tidak lagi menjadi
korban oleh kaum laki-laki. Ide yang dicetuskan Qosim Amin ini pada masanya boleh
dikatakan belum dapat diterima karena dianggap terlalu maju, berusaha dan
merusak sendi-sendi agama karena kan menimbulkan dekadensi moral. Bahkan Qosim
Amin telah dituduh oleh imperialisme Eropa yang ingin merusak kedudukan dan
citra wanita muslim. Untuk itu masyarakat mesir diperingatkan supaya tidak
terpengaruh oleh gerakan tersebut.[18] Musthafa
Kamil seorang pemikir Mesir termasuk orang yang menolak ide Qosim Amin ini. Bagi
Musthafa Kamil kesatuan dan katahanan nasional
jauh lebih penting dari perubahan sosial. Penolakan ini disuarakan dalam surat
kabar Al-liwa yang menjadi corongnya dalam menolak ide-ide nasional yang
memihak kepada kebudayaan barat.[19]
Sekalipun gerakan emansipasi wanita ini
mendapat tantangan yang kuat, namun gerakan ini sangat berpengaruh bagi Negara
Mesir, terutama pada masa sesudahnya pengaruh tersebut antara lain menimbulkan
beberapa gerakan sebagai berikut :
1. Adanya
kesadaran baru di kalangan masyarakat Mesir tentang perlunya pendidikan wanita.
2. Mulai
adanya kelonggaran hijab.
3. Adanya
keluhan dari kalangan pemuda tentang istem perkawinan yang berlaku. Mereka
mengharapkan adanya perubahan sistem perkawinan tersebut.
4. Adanya
perhatian pemerintahan dan para pemuka negara terhadap undang-undang yang
berlaku di peradilan agama.[20]
Disamping itu muncul tokoh wanita mesir, Malak
Hifnif Nasif. Ia adalah wanita Mesir yang pertama yang memperoleh sertifikat
sekolah dasar, kemudian ia mendapatkan pendidikan lanjutan dan menjadi guru
sekolah wanita. Ia menulis berbagai artikel tentang wanita dengan nama samaran
Behistsat al- Badiyah. Ia berjuang menuntut hak-hak wanita mulai dari kalangan
bawah sampai tingkat tinggi.[21]
Gerakan-gerakan wanita mesir pada akhirnya
distukan dalam Jamisyat al-Itihad al-Nisa. (Egiptian Peminist Union), dan
disahkan sebagai gerkan wanita Mesir pada tahun 1923. Sebagai ketuanya ditunjuk
Huda Hanim Sya’rawi. Para pengurusnya sering mengadakan perlawatan ke Eropa dan
Amerika untuk bertukar pikiran dan mencari perbandingan dan pengalaman. Mereka
ikut katif dalam memikirkan perbaikan masyarakat, masalah perkawinan dan talaq,
penyelenggaraan pendidikan, bahkan mereka turut serta dalam gerkan politik.
Mereka menuntut adanya undang-undang perkawinan dan peningkatan pertanggung
jawaban kepada anak-anak.[22]
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan
bahwa ide emansipasi wanita yang dicanangkan oleh Qosim Amin. Dalam rangka
mengembalikan umat Islam kepada ajaran Islam yang sebenarnya, memajukan
bangsanya, membukakan mata umat Islam supaya dapat melihat mana ajaran yang
sebenarnya yang berdasarkan syariat. Dengan hal ini diharapkan umat Islam akan
mengejar ketingalanya. Dalam hal ini menaruh perhatian besar terhadap nasip
kaum wanita bangsanya yang berada dalam kebodohan dan rendah martabtnya.
Untuk merombak keadaan ini Qosim Amin
memunculkan ide baru tentang perlunya pendidikan diberikan kepada kaum wanita
seperti yang diberikan kepada kaum pria, dalam merubah persepktif dalam Hijab,
Perkawinan, dan talaq.
[1] Qosim
Amin, Tahrir al-Mar’ah, Dar al-Ma’arif, Cairo, t.t., hal. 15.
[2]
Qosim Amin, Op.Cit, hal 42.
[3] Ibid
[4] Qosim Amin, al-mar’ah
al-jadidah. Cairo, t.t ., hal. 159.
[5]
Ibid., hal.157.
[6]
Qosim Amin, Tahrir al-Mar’ah , hal. 43.
[7]
Ibid., hal. 46.
[8] Qosim Amin, al-Mar’ah
al-jadidah, hal. 43.
[9]
Ibid., hal. 41.
[10]
Ibid., hal. 168.
[11]
Qosim Amin, Tahrir al-Mar’ah , hal. 84.
[12]
Ibid
[13]
Qur’an Surat Ar-rum Ayat : 21, dan Terjemahannya.
[14]
Ibid., hal. 140.
[15]
Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam. Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Bulan
Bintang, Jakarta, hal. 79.
[16]
Qur’an Surat An-Nisa Ayat : 3, dan Terjemahannya.
[17]
Ibid., hal. 153.
[18]
Ibid., hal. 159.
[19]
Thomas Philip, Feminism and Natinalist Politics in Egypt, dalam “Women in the
Muslim World”, Lois Beck, (Ed), Hardvard University., hal.279.
[20]
Ibid., hal. 279.
[21]
Qosim Amin, al-Mar’ah al-Jadidah, Op.Cit., hal.212.
[22]
Charles C. Adams., hal. 235.
DAFTAR PUSTAKA
Ø
Qosim Amin, Tahrir
al-Mar’ah, Dar al-Ma’arif, Cairo, t.t.
Ø
Qosim Amin, al-Mar’ah
al-Jadidah. Cairo, t.t.
Ø
Qosim Amin, Tahrir
al-Mar’ah.
Ø
Harun Nasution, Pembaharuan
Dalam Islam. Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Bulan Bintang, Jakarta.
Ø
Qur’an Surat An-Nisa Ayat :
3, dan Terjemahnya.
Ø
Qur’an Surat Ar-rum Ayat :
21, dan Terjemahnya.
Ø
Thomas Philip, Feminism and
Natinalist Politics in Egypt, dalam “Women in the Muslim World”, Lois Beck,
(Ed), Hardvard University.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar